Forex Halal Menurut Mui


Halal atau Haram kah Forex itu. Apa itu Forex. Foreign Exchange forex atau dikenal sebagai valuta asing valas merupakan salah satu pilihan investasi yang berkembang di Indonesia saat ini Forex Trading adalah transaksi perdagangan mata uang asing di pasar uang yang tidak mengerti forex secara forex Detail ato hanya mencoba-coba bisa kemungkinan besar mengatakan forex adalah judi hal lain bisa juga, ada yg rugi cukup besar saat bermain forex, dia selalu udah jadi trader selama 1 tahun, setelah itu dia kecewa dan mengatakan forex adalah judi apa yg jual beli Saham di bank ato pada BEI dengan forex, salah satunya adalah tempat transaksi klo forex adalah judi, berarti silakan tutup saja BEI bisa dicoba saham yg ada di indonesia. Bagi anda yg bilang HARAM, ada 2 kemungkinan 1 anda tidak mengerti dalam investasi berbisnis dan Mentransaksikannya 2 Anda tidak punya MODAL UANG Jadi untuk anda yg memiliki UANG silahkan konsep dan MENCOBA, Bagi Anda yang mengatakan halal ,, 1 Transaksisinya tidak tebak-tebakan karena transaksinya didasari dengan teknikal dan fondamental 2 Pelakunya sebagai penjual dan pembeli pedagang 3 Ada perjanjian di awal transaksi dengan aggreement. FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS. Fatwa Dewan Syari ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no 28 DSN-MUI III 2002, tentang Jual Beli Mata Uang Al-Sharf Firman Allah, QS Al-Baqarah 2 275 Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa id al - Khudri Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak HR al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan nilai shahih oleh Ibnu Hibban Hadis Nabi Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa i, dan Ibnu Majah, Dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi saw bersabda Juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum sya ir dengan sya ir, kurma dengan kurma, dan Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda Jual barang-barang Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa id al-Khudri Nabi saw bersabda Janganlah kamu menjual emas dengan emas sama sama nilainya dan janganlah naikkan sebagian atas yang lain janganlah menjual perak dengan perak sama sama nilainya Dan janganlah tambah sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak ini yang tidak tunai dengan yang tunai Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin A rqam Rasulullah saw. Menjual tunai dengan emas tidak sah Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang menghar Amkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka yang syaratnya yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram MENIMBANG 1 dalam kegiatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, diperlukannya transaksi. jual-beli mata uang al-sharf, Baik antar mata uang yang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis 2 dalam urf tijari tradisi perdagangan transaksi jual beli mata uang Related beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain 3 halangan agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan Ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. MEMPERHATIKAN 1 Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no UUS 2 878 2 Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002.MEMUTUSKAN Dewan Syariah Nasional Menetapkan FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG AL-SHARF Pertama Ketentuan Umum. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut 1 Tidak untuk spekulasi untung-untungan 2 Ada kebutuhan transaks atau untuk berjaga-jaga simpanan 3 Jika transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama Dan secara tunai at-taqabudh 4 Kalau berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua Jenis-jenis transaksi Valuta Asing.1 Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu Over the counter atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari Hukumnya adalah, karena hal yang diperlukan, dua hal yang tidak dapat dipertahankan dan merupakan transaksi internasional 2 Transaksi FORWARD yaitu transaksi pem belian dan penjualan valas yang dinilai pada Saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang aka N datang, antara 2 24 jam sampai dengan satu tahun Hukumnya haram, karena harga yang dipakai adalah harga yang diperjanjikan muwa adah dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, harga pada saat penyerahan itu belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dalam bentuk Perjanjian berjangka untuk kebutuhan yang tidak dapat terhindar lil hajah 3 Transaksi SWAP suatu cara jual beli valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan penjualan antara penjualan valas yang sama dengan harga forward hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir spiksi 4 transaksi OPTION yaitu kontrak untuk mendapatkan Hak dalam rangka yang tidak harus dilakukan atas jumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu Hukumnya haram, karena mengandung unusru maisir spaham. Ketiga Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata Ada kek Eliruan, akan diubah dan disempurnakan mestinya. Ditetapkan di Jakarta Tanggal 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARI AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA Saya memang baru saja belajar mengenai dunia investasi melalui saham, indeks, forex, dan istilah2 lainnya yang sejenis Tapi dengan Sedikit membuka diri saja kita semua semestinya tahu, apa ada sikap dan pandangan kita terhadap investasi indeks forex dan kawan2, dan meski kita tidak ikutan terjun di dalamnya, baik sedikit atau banyak proses transaksi yang ada di dalamnya bisa mempengaruhi pergerakan mata uang, Dan devisa negara kita berarti trading index forex akan tetap berjalan dan bisa ikutan menghantam ekonomi negara kita dengan cara yang khas-nya sendiri Kalo menurut saya menurut saya loh, sebar kita untuk2 tugas ajah buat yang pro silahkan teruskan trading indeks foreknya dengan lebih serius dan profesional Buat yang kontra pilihan ada di tangan anda. Hukum Trading Forex Menu Rut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya yang mempertanyakan apa hukum trading forex menurutIslam sudah banyak dikupas maka berikut ini saya publish artikel dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada Forex trading adalah HARAM dengan hujjah yang mereka pegangi keputusan berpulang pada dan ada di tangan anda Selamat baca. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang AL-SHARF Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di indonesia.1 Apakah Trading Forex Haram.2 Apakah Trading Forex Haram.2 Trading Forex Halal.3 Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam.4 Apakah SWAP itu. Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam. Dalam bukunya Prof Drs Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, oleh Forex Trading Valas dibolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adany Sebuah barang barang kebutuhan barang komoditi antar negara yang sedang internasional Perdagangan Ekspor-Impor ini tentu membutuhkan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara memiliki ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lain sesuai dengan penawaran dan permintaan dari negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang sedang internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan Nilai tukar negara dengan negara lainnya ini berubah berfluktuasi setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya Adanya permintaan dan Penawaran yang yang sedang bertransaksi mata uang yang sama dengan nilai tukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS.1 Ada Ijab-Qobul --- Ada perjanjian untuk memberi dan menerima. Penjual saham barang dan pembeli berbayar tunai Ijab - Qobulnya dilakukan d Engan lisan, tulisan dan utusan Pembeli dan penjual memiliki wewenang penuh pelaksanaan dan melakukan tindakantindakan hukum dewasa dan berpikiran sehat.2 Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu. Suci barangnya bukan najis dapat dimanfaatkan Bisa diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual oleh pemiliknya sendiri Atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu sudah ditambahkan Muhammad Isa, itu jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan di udara, karena sebenarnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas ud. Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya jika tidak sesuai maka pembeli memiliki hak Khiyar, tentu saja boleh atau jual beli belinya Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah. Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihat, maka ia berhak khiyar jika sudah ditinjau. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti Ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam. Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang Yang telah terbungkus tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, as Alkil diberi label yang menerangkan isa Vide Sabiq, op cit hal 135 Mengenai teks kaidah hukum Islam di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal 55.JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM. Yang maksud Dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya sementara negara tujuan perdagangan internasional maka setiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa contoh eksportir indonesia akan menghasilkan devisa dari hasil Ekspornya, sebaliknya importir indonesia membutuhkan devisa untuk menarik dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing setiap negara penuh kurs rupiah masing-masing kurs adalah perbandingan uangnya dengan mata uang asing misalnya 1 dolar Amerika Rp 12 000 Kurs mata uang atau Bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing di Bursa Valuta Asing AWJ Tupanno, et al Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77.FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS. Fatwa Dewan Syari ah Majelis Ulama Indonesia. No 28 DSN-MUI III 2002 tentang Jual Beli Mata Uang Al-Sharf. a dalam kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, diperlukannya. Transaks jual-beli mata uang al-sharf, Baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. bintang dalam urf tijari tradisi perdagangan transaksi jual beli mata uang yang tahu beberapa. bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. c Berita agar kegiatan transaksi tersebut Dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman.1 Firman Allah, QS Al-Baqarah 2 275 Dan Semua Ah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.2 Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa id al-Khudri Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak HR albaihaqi dan Ibnu Majah, Dan nilai shahih oleh Ibnu Hibban.3 Hadis Nabi Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi saw bersabda Juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya Ir dengan sya ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam denga syarat harus sama dan sejenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.4 Hadis Nabi riwayat muslim, tirmidzi, nasa i, Abu Daud, Ibnu Majah, Dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda Jual-beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai.5 Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa id al-Khudri, Nabi saw bersabda Janganlah kamu menjual emas Dengan emas kecuali sama nilainya dan janganlah yang sebagian besar yang lain janganlah menjual perak dengan perak sama sama nilainya dan janganlah tambah sebagaian atas yang lain dan janganlah menjual emas dan perak ini yang tidak tunai dengan yang tunai.6 Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara Bin Azib dan Zaid bin Arqam Rasulullah melihat uang tunai menjual perak dengan emas tidak tunai.7 Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali ketentuan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan Syarat-syarat mereka baik syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.8 Ijma Ulama sebutkan ijma akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.1 Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no UUS 2 878.2 Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2 002.Dewan Syari ah Nasional Menetapkan FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG AL-SHARF. Pertama Ketentuan Umum. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut.1 Tidak untuk spekulasi untung-untungan.2 Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga - Jaga simpanan.3 Bila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai at-taqabudh.4 Kalau berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua Jenis-jenis transaksi Valuta Asing. 1 Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu over the counter atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari yang merupakan proses penyelesaian yang tidak dapat disimpan dan merupakan Transaksi internasional.2 Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilai dit Etapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun Hukumnya haram, karena harga yang dipakai adalah harga yang diperjanjikan muwa adah dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, harga pada saat penyerahan itu belum tentu sama dengan Nilai yang disepakati, kecuali dalam bentuk perjanjian kedepan untuk kebutuhan yang tidak dapat terhindar lil hajah.3 Transaksi SWAP suatu cara pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan penjualan antara penjualan valas yang sama dengan harga forward hukumnya haram, karena mengandung unsur Maisir spekulasi.4 Transaksi OPSI adalah hak untuk menjual barang dalam rangka yang tidak boleh dilakukan atas jumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir buku hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir spaham. Ketiga Fatwa ini sudah berlaku sejak Tanggal ditetapka N, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata ada kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan mestinya. Ditetapkan di Jakarta. Tanggal 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M. DEWAN SYARI AH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA. Tulisan lain yang menguatkan adalah pembelaan yang ditulis oleh Dr Mohammed Obaidullah di bawah ini tentang ISLAM FOREX TRADING.1 Kontrak Pertukaran Dasar Ada konsensus umum di antara para ahli hukum Islam dengan pandangan bahwa mata uang dari berbagai negara dapat dipertukarkan secara spot pada tingkat yang berbeda dari persatuan, karena mata uang berbeda Negara adalah entitas yang berbeda dengan nilai yang berbeda atau nilai intrinsik, dan daya beli Ada juga kesepakatan umum antara mayoritas ilmuwan mengenai pandangan bahwa pertukaran mata uang secara forward tidak diperbolehkan, yaitu hak dan kewajiban Kedua belah pihak berhubungan dengan tanggal yang akan datang. Namun, ada perbedaan pendapat antara para ahli hukum saat hak asasi manusia Salah satu pihak, yang sama dengan kewajiban counterparty, ditangguhkan untuk tanggal mendatang. Untuk menguraikan, mari kita simak contoh dua individu A dan B yang termasuk dalam dua negara yang berbeda, India dan AS masing-masing A yang bermaksud untuk Menjual rupee India dan membeli dolar AS Kebalikannya berlaku untuk B Nilai tukar dolar rupee yang disepakati adalah 1 20 dan transaksi tersebut melibatkan pembelian dan penjualan 50 Situasi pertama adalah bahwa A melakukan pembayaran spot Rs1000 ke B dan menerima pembayaran Dari 50 dari B Transaksi diselesaikan secara spot dari kedua ujungnya Transaksi tersebut berlaku dan diperbolehkan secara Islami Tidak ada dua pendapat tentang hal yang sama Kemungkinan kedua adalah bahwa penyelesaian transaksi dari kedua ujungnya ditangguhkan ke masa depan, katakanlah Setelah enam bulan dari sekarang Ini menyiratkan bahwa baik A dan B akan membuat dan menerima pembayaran sebesar Rs1000 atau 50, seperti kasusnya, setelah enam bulan. Pandangan utama adalah bahwa kontrak semacam itu tidak diperbolehkan secara islamis. Ible Pandangan minoritas menganggapnya diperbolehkan Skenario ketiga adalah bahwa transaksi sebagian diselesaikan dari satu akhir saja Misalnya, A melakukan pembayaran Rs1000 sekarang ke B sebagai pengganti janji B untuk membayar 50 kepadanya setelah enam bulan. Sebagai alternatif, A menerima 50 sekarang dari B dan berjanji untuk membayar Rs1000 kepadanya setelah enam bulan. Ada pandangan yang berlawanan secara diam-diam mengenai diperbolehkannya kontrak semacam itu yang bai-salam dalam mata uang Tujuan dari makalah ini adalah untuk menyajikan analisis komprehensif mengenai berbagai argumen di Mendukung dan melawan diperbolehkannya kontrak dasar yang melibatkan mata uang Bentuk pertama dari kontrak yang melibatkan pertukaran nilai-nilai dasar secara spot berada di luar segala jenis kontroversi. Permissibility atau jenis kontrak kedua dimana pengiriman salah satu nilai pertanggungan ditangguhkan. Tanggal yang akan datang, umumnya dibahas dalam rangka larangan riba. Dengan demikian, kami membahas kontrak ini secara rinci di bagian 2 yang membahasnya H isu larangan riba Izin bentuk kontrak ketiga dimana penyampaian kedua pertimbangan tersebut ditangguhkan, umumnya dibahas dalam kerangka pengurangan risiko dan ketidakpastian atau gharar yang terlibat dalam kontrak semacam itu. Ini, oleh karena itu, merupakan tema sentral dari Bagian 3 yang membahas masalah gharar Bagian 4 mencoba pandangan holistik tentang Syariah yang berkaitan dengan isu-isu dan juga signifikansi ekonomi dari bentuk dasar kontrak di pasar mata uang 2 Isu Larangan Riba Perbedaan antara pandangan1 tentang kebolehan atau sebaliknya Kontrak pertukaran dalam mata uang dapat ditelusuri terutama dengan masalah larangan riba. Kebutuhan untuk menghilangkan riba dalam semua bentuk kontrak pertukaran sangat penting Riba dalam konteks Syariah pada umumnya didefinisikan sebagai keuntungan yang tidak sah yang berasal dari ketidaksetaraan kuantitatif dari Countervalues ​​dalam transaksi apapun yang bermaksud menghasilkan pertukaran dua atau lebih spesies anwa, yang termasuk dalam s Ame genus jins dan diatur oleh penyebab efisien yang sama illa Riba umumnya diklasifikasikan ke dalam kelebihan riba al-fadl dan penundaan riba al-nasia yang menunjukkan keuntungan yang tidak sah dengan cara kelebihan atau penundaan masing-masing Pelarangan yang pertama dicapai dengan ketentuan bahwa Tingkat pertukaran antara objek adalah kesatuan dan tidak ada keuntungan yang diperbolehkan untuk kedua pihak Jenis riba yang terakhir dilarang oleh larangan penyelesaian yang ditangguhkan dan memastikan bahwa transaksi diselesaikan secara langsung oleh kedua pihak Bentuk lain dari riba disebut riba al - jahiliya atau riba pra-Islam yang muncul saat pemberi pinjaman meminta peminjam pada tanggal jatuh tempo jika yang terakhir akan melunasi hutang atau meningkatkan kenaikan yang sama disertai dengan mengenakan bunga atas jumlah yang semula dipinjam. Larangan riba dalam pertukaran Mata uang milik negara yang berbeda memerlukan proses analogi qiyas Dan dalam setiap latihan yang melibatkan analogi qiyas, efisien menyebabkan illa pla Peran yang sangat penting Ini adalah penyebab illa yang efisien, yang menghubungkan objek analoginya dengan subjeknya, dalam pelaksanaan penalaran analog Alasan efisien yang tepat illa jika terjadi kontrak pertukaran telah didefinisikan secara beragam oleh sekolah-sekolah utama Fiqih Perbedaan ini tercermin dalam penalaran analog untuk mata uang kertas milik negara yang berbeda. Sebuah pertanyaan yang cukup penting dalam proses penalaran yang analog berkaitan dengan perbandingan antara mata uang kertas dengan emas dan perak Pada masa awal Islam, emas dan perak melakukan semua Fungsi uang daman Mata uang terbuat dari emas dan perak dengan nilai intrinsik nilai emas atau perak yang terkandung di dalamnya Mata uang tersebut digambarkan sebagai thaman haqiqi, atau naqdain dalam literatur Fiqh Ini dapat diterima secara universal sebagai sarana utama pertukaran, akuntansi untuk Sebagian besar transaksi Banyak komoditas lain, seperti berbagai logam inferior al Jadi berfungsi sebagai alat tukar, namun dengan akseptabilitas terbatas Ini digambarkan sebagai fals dalam literatur Fiqih Ini juga dikenal sebagai thaman istalahi karena fakta bahwa akseptabilitas mereka berasal bukan dari nilai intrinsiknya, namun karena status yang diberikan oleh masyarakat selama Periode waktu tertentu Dua bentuk mata uang di atas telah diperlakukan sangat berbeda oleh para ahli hukum Islam awal dari sudut pandang diperbolehkannya kontrak yang melibatkan mereka Masalah yang perlu dipecahkan adalah apakah mata uang kertas usia sekarang termasuk dalam kategori sebelumnya atau Yang terakhir Satu pandangan adalah bahwa ini harus diperlakukan setara dengan thaman haqiqi atau emas dan perak, karena ini berfungsi sebagai sarana utama pertukaran dan unit akun seperti yang baru. Oleh karena itu, dengan penalaran yang sama, semua norma dan perintah terkait Syariah berlaku Untuk thaman haqiqi juga harus berlaku untuk kertas mata uang Pertukaran thaman haqiqi dikenal dengan bai-sarf, dan karenanya, transaksi saya N mata uang kertas harus diatur oleh peraturan Syariah yang relevan untuk bai sarf Pandangan yang berlawanan menegaskan bahwa mata uang kertas harus diperlakukan dengan cara yang serupa dengan torehan atau kesalahan istalahi karena fakta bahwa nilai nominal mereka berbeda dari nilai intrinsiknya Kemampuan akseptabilitasnya. Berasal dari status hukum mereka di dalam negeri atau kepentingan ekonomi global seperti dalam kasus dolar AS, misalnya.2 1 Sintesis Pandangan Alternatif.2 1 1 Penalaran Analogika Qiyas untuk Larangan Riba. Larangan riba didasarkan pada tradisi Bahwa nabi suci saw bersabda kepadanya, Menjual emas untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum, jelai untuk jelai, tanggal untuk tanggal, garam untuk garam, dalam jumlah yang sama di tempat dan ketika komoditasnya berbeda, laku sebagai Itu sesuai dengan Anda, tapi di tempat itu, pelarangan riba berlaku terutama untuk dua logam mulia emas dan perak dan empat komoditas gandum, jelai, kurma dan garam lainnya. Hal ini juga berlaku, dengan analogi q Iyas untuk semua spesies yang diatur oleh illa efisiensi yang sama atau yang termasuk salah satu genera dari enam objek yang dikutip dalam tradisi Namun, tidak ada kesepakatan umum di antara berbagai sekolah Fiqih dan bahkan ilmuwan yang sama. Sekolah tentang definisi dan identifikasi penyebab efisien illa riba. Untuk Hanafis, penyebab efisien illa riba memiliki dua dimensi artikel yang dipertukarkan termasuk dalam genus jins yang sama ini memiliki berat wazan atau ukuran kiliyya Jika dalam pertukaran yang diberikan, kedua unsur tersebut Dari illa penyebab yang efisien hadir, yaitu nilai tukar yang dipertukarkan termasuk dalam genus jins yang sama dan semuanya dapat diukur atau semua terukur, maka tidak ada keuntungan yang diperbolehkan bahwa nilai tukar harus sama dengan satu kesatuan dan pertukaran harus dilakukan secara langsung. Kasus emas dan perak, dua elemen illa yang efisien adalah kesatuan genus jins dan weighability. Ini juga merupakan tampilan Hanbali menurut satu versi3. Versi yang berbeda adalah Mirip dengan pandangan Shafii dan Maliki, seperti yang dibahas di bawah ini Jadi, ketika emas dipertukarkan dengan emas, atau perak dipertukarkan dengan perak, hanya transaksi spot tanpa keuntungan yang diperbolehkan. Mungkin juga bahwa dalam pertukaran tertentu, satu dari dua unsur Illa yang efisien hadir dan yang lainnya tidak ada. Misalnya, jika artikel yang dipertukarkan semuanya dapat ditimbang atau terukur namun termasuk dalam genus jins yang berbeda atau, jika artikel yang dipertukarkan termasuk dalam genus jins yang sama tetapi tidak dapat ditimbang atau diukur, maka pertukaran dengan Keuntungan pada tingkat yang berbeda dari persatuan diperbolehkan, tapi pertukaran harus dilakukan secara langsung Jadi, ketika emas dipertukarkan dengan perak, tarifnya bisa berbeda dari satu kesatuan tetapi tidak ada penyelesaian yang ditangguhkan diperbolehkan Jika tidak ada dua unsur penyebab efisien. Illa riba hadir dalam pertukaran yang diberikan, maka tidak ada larangan untuk larangan riba yang berlaku. Bursa dapat berlangsung dengan atau tanpa keuntungan dan keduanya berada di tempat atau dasar yang ditangguhkan. Mempertimbangkan Kasus pertukaran yang melibatkan mata uang kertas milik negara yang berbeda, larangan riba akan memerlukan pencarian untuk tujuan yang efisien illa Mata uang yang berasal dari negara yang berbeda adalah entitas yang jelas berbeda, ini adalah tender legal dalam batas geografis tertentu dengan nilai intrinsik atau daya beli yang berbeda. Oleh karena itu, sebagian besar Dari para ilmuwan mungkin dengan tepat menegaskan bahwa tidak ada kesatuan genus jins Selain itu, ini tidak berbobot atau terukur Ini mengarah pada kesimpulan langsung bahwa tidak satu pun dari dua elemen penyebab efisien illa riba ada dalam pertukaran demikian. Oleh karena itu, pertukaran dapat terjadi Bebas dari perintah apapun mengenai tingkat pertukaran dan cara penyelesaian Logika yang mendasari posisi ini tidak sulit untuk dipahami Nilai intrinsik mata uang kertas milik negara yang berbeda berbeda karena memiliki daya beli yang berbeda Selain itu, nilai intrinsik atau nilai kertas Mata uang tidak dapat diidentifikasi atau keledai Tidak seperti emas dan perak yang bisa ditimbang Oleh karena itu, tidak adanya riba al-fadl secara berlebihan, atau riba al-nasia dengan penundaan dapat ditentukan. Sekolah Fiqh Shafii menganggap illa yang efisien jika terjadi emas dan perak Menjadi milik mereka menjadi mata uang thamaniyya atau media pertukaran, unit rekening dan nilai simpanan Ini juga merupakan pandangan Maliki Menurut salah satu versi pandangan ini, bahkan jika kertas atau kulit dijadikan media pertukaran dan diberi status Dari mata uang, maka semua peraturan yang berkaitan dengan naqdain, atau emas dan perak berlaku untuk mereka. Jadi, menurut versi ini, pertukaran yang melibatkan mata uang dari berbagai negara pada tingkat yang berbeda dari persatuan diperbolehkan, namun harus diselesaikan secara spot Versi lain Dari dua mazhab pemikiran di atas adalah bahwa penyebab illa efisien yang disebutkan di atas adalah mata uang thamaniyya yang spesifik untuk emas dan perak, dan tidak dapat digeneralisasikan. Yaitu, objek lain, jika digunakan sebagai media excha Nge, tidak dapat disertakan dalam kategori mereka Oleh karena itu, sesuai dengan versi ini, perintah Syariah untuk larangan riba tidak berlaku untuk mata uang kertas. Mata uang milik negara yang berbeda dapat dipertukarkan dengan atau tanpa keuntungan dan keduanya berdasarkan tempat atau ditangguhkan. Versi sebelumnya mengutip kasus pertukaran mata uang kertas milik negara yang sama dalam mempertahankan versi mereka Pendapat konsensus para ahli hukum dalam kasus ini adalah bahwa pertukaran semacam itu harus tanpa keuntungan atau pada tingkat yang sama dengan persatuan dan harus diselesaikan pada Dasar tempat Apa alasan yang mendasari keputusan di atas Jika orang mempertimbangkan Hanafi dan versi pertama dari posisi Hanbali maka, dalam kasus ini, hanya satu dimensi illa yang efisien hadir, yaitu genus yang sama dari genus Tapi mata uang kertas tidak menimbang atau tidak terukur. Oleh karena itu, hukum Hanafi tampaknya akan mengizinkan pertukaran jumlah mata uang yang berbeda pada basis tempat. Demikian pula jika Penyebab efisien menjadi mata uang thamaniyya hanya khusus untuk emas dan perak, maka hukum Shafii dan Maliki juga akan mengizinkan yang sama. Tak perlu dikatakan lagi, jumlah ini memungkinkan pinjaman berbasis riba dan pemberian pinjaman Ini menunjukkan bahwa, ini adalah versi pertama dari Shafii dan Maliki berpikir yang mendasari keputusan konsensus tentang larangan mendapatkan dan penyelesaian yang ditangguhkan jika terjadi pertukaran mata uang milik negara yang sama Menurut para pendukungnya, memperluas logika ini untuk pertukaran mata uang dari berbagai negara akan menyiratkan bahwa pertukaran dengan keuntungan atau pada Tingkat yang berbeda dari persatuan diperbolehkan karena tidak ada kesatuan jin, tapi penyelesaian harus berdasarkan lokasi.2 1 2 Perbandingan antara Pertukaran Mata Uang dan Bai-Sarf. Bai-sarf didefinisikan dalam literatur Fiqh sebagai pertukaran yang melibatkan thaman haqiqi, Didefinisikan sebagai emas dan perak, yang berfungsi sebagai media utama pertukaran untuk hampir semua transaksi utama. Proponis dari pandangan bahwa pertukaran mata uang different countries is same as bai-sarf argue that in the present age paper currencies have effectively and completely replaced gold and silver as the medium of exchange Hence, by analogy, exchange involving such currencies should be governed by the same Sharia rules and injunctions as bai-sarf It is also argued that if deferred settlement by either parties to the contract is permitted, this would open the possibilities of riba-al nasia. Opponents of categorization of currency exchange with bai-sarf however point out that the exchange of all forms of currency thaman cannot be termed as bai-sarf According to this view bai-sarf implies exchange of currencies made of gold and silver thaman haqiqi or naqdain alone and not of money pronounced as such by the state authorities thaman istalahi The present age currencies are examples of the latter kind These scholars find support in those writings which assert that if the commodities of exchange are not gold or silver, even if one of these is go ld or silver then, the exchange cannot be termed as bai-sarf Nor would the stipulations regarding bai-sarf be applicable to such exchanges According to Imam Sarakhsi4 when an individual purchases fals or coins made out of inferior metals, such as, copper thaman istalahi for dirhams thaman haqiqi and makes a spot payment of the latter, but the seller does not have fals at that moment, then such exchange is permissible taking possession of commodities exchanged by both parties is not a precondition while in case of bai-sarf, it is A number of similar references exist which indicate that jurists do not classify an exchange of fals thaman istalahi for another fals thaman istalahi or gold or silver thaman haqiqi , as bai-sarf. Hence, the exchanges of currencies of two different countries which can only qualify as thaman istalahi can not be categorized as bai-sarf Nor can the constraint regarding spot settlement be imposed on such transactions It should be noted here that the definition of ba i-sarf is provided Fiqh literature and there is no mention of the same in the holy traditions The traditions mention about riba, and the sale and purchase of gold and silver naqdain which may be a major source of riba, is described as bai-sarf by the Islamic jurists It should also be noted that in Fiqh literature, bai-sarf implies exchange of gold or silver only whether these are currently being used as medium of exchange or not Exchange involving dinars and gold ornaments, both quality as bai-sarf Various jurists have sought to clarify this point and have defined sarf as that exchange in which both the commodities exchanged are in the nature of thaman, not necessarily thaman themselves Hence, even when one of the commodities is processed gold say, ornaments , such exchange is called bai-sarf. Proponents of the view that currency exchange should be treated in a manner similar to bai-sarf also derive support from writings of eminent Islamic jurists According to Imam Ibn Taimiya anything that performs the functions of medium of exchange, unit of account, and store of value is called thaman, not necessarily limited to gold silver Similar references are available in the writings of Imam Ghazzali5 As far as the views of Imam Sarakhshi is concerned regarding exchange involving fals, according to them, some additional points need to be taken note of In the early days of Islam, dinars and dirhams made of gold and silver were mostly used as medium of exchange in all major transactions Only the minor ones were settled with fals In other words, fals did not possess the characteristics of money or thamaniyya in full and was hardly used as store of value or unit of account and was more in the nature of commodity Hence there was no restriction on purchase of the same for gold and silver on a deferred basis The present day currencies have all the features of thaman and are meant to be thaman only The exchange involving currencies of different countries is same as bai-sarf with diff erence of jins and hence, deferred settlement would lead to riba al-nasia. Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui illustrates this possibility with an example6 He writes In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1 20, if an individual purchases 50 at the rate of 1 22 settlement of his obligation in rupees deferred to a future date , then it is highly probable that he is in fact, borrowing Rs 1000 now in lieu of a promise to repay Rs 1100 on a specified later date Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 purchased on credit at spot rate Thus, sarf can be converted into interest-based borrowing lending.2 1 3 Defining Thamaniyya is the Key. It appears from the above synthesis of alternative views that the key issue seems to be a correct definition of thamaniyya For instance, a fundamental question that leads to divergent positions on permissibility relates to whether thamaniyya is specific to gold and silver, or can be associated with anything that performs the functions of money We raise some issues below which may be taken into account in any exercise in reconsideration of alternative positions. It should be appreciated that thamaniyya may not be absolute and may vary in degrees It is true that paper currencies have completely replaced gold and silver as medium of exchange, unit of account and store of value In this sense, paper currencies can be said to possess thamaniyya However, this is true for domestic currencies only and may not be true for foreign currencies In other words, Indian rupees possess thamaniyya within the geographical boundaries of India only, and do not have any acceptability in US These cannot be said to possess thamaniyya in US unless a US citizen can use Indian rupees as a medium of exchange, or unit of account, or store of value In most cases such a possibility is remote This possibility is also a function of the exchange rate mechanism in place, such as, convertibility of Indian rupees into US doll ars, and whether a fixed or floating exchange rate system is in place For example, assuming free convertibility of Indian rupees into US dollars and vice versa, and a fixed exchange rate system in which the rupee-dollar exchange rate is not expected to increase or decrease in the foreseeable future, thamaniyya of rupee in US is considerably improved The example cited by Dr Nejatullah Siddiqui also appears quite robust under the circumstances Permission to exchange rupees for dollars on a deferred basis from one end, of course at a rate different from the spot rate official rate which is likely to remain fixed till the date of settlement would be a clear case of interest-based borrowing and lending However, if the assumption of fixed exchange rate is relaxed and the present system of fluctuating and volatile exchange rates is assumed to be the case, then it can be shown that the case of riba al-nasia breaks down We rewrite his example In a given moment in time when the market rate of ex change between dollar and rupee is 1 20, if an individual purchases 50 at the rate of 1 22 settlement of his obligation in rupees deferred to a future date , then it is highly probable that he is in fact, borrowing Rs 1000 now in lieu of a promise to repay Rs 1100 on a specified later date Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 purchased on credit at spot rate This would be so, only if the currency risk is non-existent exchange rate remains at 1 20 , or is borne by the seller of dollars buyer repays in rupees and not in dollars If the former is true, then the seller of the dollars lender receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 at an exchange rate of 1 20 However, if the latter is true, then the return to the seller or the lender is not predetermined It need not even be positive For example, if the rupee-dollar exchange rate increases to 1 25, then the seller of dollar would receive only 44 Rs 1100 convert ed into dollars for his investment of 50.Here two points are worth noting First, when one assumes a fixed exchange rate regime, the distinction between currencies of different countries gets diluted The situation becomes similar to exchanging pounds with sterlings currencies belonging to the same country at a fixed rate Second, when one assumes a volatile exchange rate system, then just as one can visualize lending through the foreign currency market mechanism suggested in the above example , one can also visualize lending through any other organized market such as, for commodities or stocks If one replaces dollars for stocks in the above example, it would read as In a given moment in time when the market price of stock X is Rs 20, if an individual purchases 50 stocks at the rate of Rs 22 settlement of his obligation in rupees deferred to a future date , then it is highly probable that he is in fact, borrowing Rs 1000 now in lieu of a promise to repay Rs 1100 on a specified later date Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 stocks purchased on credit at current price In this case too as in the earlier example, returns to the seller of stocks may be negative if stock price rises to Rs 25 on the settlement date Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies. A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant Gold is gold whether in country A or country B Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would c learly involve riba al-fadl and also riba al-nasia However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different The price risk exchange rate risk , if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement However, if price risk exchange rate risk is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7.Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries For instance, US dollar is legal tender within US it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunc tions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender. Riba and risk cannot coexist in the same contract The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchang e rate system The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract.2 1 4 Possibility of Riba with Futures and Forwards. So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties Typical example of such contracts are forwards and futures9 According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertaint y gharar and the possibility of speculation of a kind which is not permissible This is discussed in section 3 However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1 20, an individual purchases 50 at the rate of 1 22 settlement of his obligation in rupees deferred to a future date , and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1 20, then it is highly probable that he is in fact, borrowing Rs 1000 now in lieu of a promise to repay Rs 1100 on a specified later date Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate The seller of the dollars lender receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars at an exchange rate of 1 20 for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1 20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1 21 after one month In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 he receives Rs1050 after one month This is a typical buy-back or repo repurchase transaction so common in conventional banking 10 3 The Issue of Freedom from Gharar 3 1 Defining Gharar. Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition In broad terms, it connotes risk and uncertainty It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11 Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar A major factor that contributes to gharar is inadequate information jahl which increases uncertainty This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc are not well-defined Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions 12.An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden Speculation in its worst form, is gambling The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it Apart from pure games of chance, the holy prophet a lso forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts 13.Here it may be noted that the term speculation has different connotations It always involves an attempt to predict the future outcome of an event But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information The former case is very much in conformity with Islamic rationality An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information All business decisions involve speculation in this sense It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible.3 2 Gharar Speculation with of Futures Forwards. Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbi dden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1 22 after one month If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller This objection is based on several traditions of the holy prophet 14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause illa of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause illa present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed t o minimize this probability Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible According to them, the efficient cause illa , that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market It is no longer relevant in the organized futures markets of today16 Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1 23 to individual B This would imply A making a gain of Rs50 the difference between Rs1150 and Rs1100 This is exactly what B would lose It may so happen that the exc hange rate would change to 1 21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other This possibility of gains or losses which theoretically can touch infinity encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar.3 3 Risk Management in Volatile Markets. Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 which at the current market rate of 1 22 mean Rs 1100 to him after one month There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 if the new rate is 1 21, A w ould realize only Rs1050 Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1 21 5 at the end of one month and thereby, realize Rs1075 with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee say, to 1 23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of doll ar may go for a salam sale of 50 with his obligation to pay 50 deferred by one month Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1 21 5 There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate For example, if dollar appreciates to 1 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50 Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation 4 Summary Co nclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba Future is not a new form of contract Rather the justification for proscribing it is new If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates Such speculation is not just a possibility, but a reality The precise motive of an economic unit enter ing into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too Bai salam would also enable the participants to manage risk At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk Notes References 1 These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy The discussion on riba prohibition draws on these views.2 Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p 16.3 Ibn Qudama, al-Mughni, vol 4, pp 5-9.4 Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25.5 Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991.6 Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991.7 It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1 20, if an individual purchases 50 at the rate of 1 22 settlement of his obligation also on a spot basis , then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1 20 Thus, spot settlement can also be a clear source of riba Does this imply that spot settlement should be proscribed too The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different po ints in time true even in the above case Riba can be earned only when the spot rate of 1 20 is fixed during the time interval between the transactions This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic.8 Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply There should be no interference in the price formation process even by the regulators While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices.9 Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller.10 This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible.11 It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible The definition o f gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty.12 The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allah s prophet pbuh came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah pbuh forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mother s womb.13 According to a tradition reported by Abu Huraira, Allah s Messenger pbuh forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered anima ls The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn Obviously it was a pure game of chance.14 The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you. Ibn Abbas reported that the prophet said He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it Ibn Abbas said I think it applies to all other things as well.15 The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase.16 M Hashim Kamali Islamic Commercial Law An Analysis of Futures , The American Journal of Islamic Social Sciences, vol 13, no 2, 1996.Send Your Comments to Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India. Jika Anda merasa tulisan di atas berguna, luangkan waktu barang 5 menit untuk menyebarkannya Terima kasih. Pembahasan kali ini mencakup tentang apakah forex halal atau haram, Apakah forex sama dengan judi, dan bagaimana hukum forex dalam Islam Forex adalah salah satu bisnis yang dapat dilakukan secara online Karena bisnis ini berfisat fleksibel, artinya dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, tidak heran apabila semakin banyak orang tertarik untuk menggeluti bisnis perdagangan valas ini Namun, disisi lain Trading Forex menimbulkan polemik baru Hingga saat ini masih banyak perdebatan apakah forex itu halal ataukah haram Mungkin anda saat ini pun juga sedang mencari tahu kebenaran tentang halal atau haram nya Forex dari kedua perbedaan pendapat tersebut. Trading Forex halal atau haram. Dalam kesempatan ini, saya akan menyajikan penjelasan secara rinci tentang hukum Trading Forex dalam berbagai sudut pandang Sehingga setelah anda membaca artikel ini, anda akan mendapatkan gambaran jelas dari berbagai sumber dan anda dapat menyimpulkan sendi ri nantinya. Apakah Forex sama dengan judi. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa Forex sama dengan judi Hal ini mungkin dikarenakan orang orang tersebut berpandangan bahwa dalam bisnis forex bisa mengakibatkan kerugian besar dalam waktu singkat Selain itu, orang orang awam dalam dunia Forex juga berfikir bahwa bekerja di Forex cukup dengan duduk duduk dan mendapatkan uang. Benarkah Forex sama dengan judi TIDAK Forex bukanlah judi, akan tetapi Forex murni perdagangan, yaitu perdagangan mata Uang Berikut ini saya uraikan faktor faktor pembeda Judi dengan Forex. Judi bersifat untung untungan, sedangkan Forex tidak Karena dalam Trading Forex dapat dilakukan analisa, yaitu analisa secara teknikal dan fundamental. Judi bersifat merugikan lawan, sedangkan dalam Forex bersifat win win solution, bersifat saling menguntungkan. Dalam judi tidak ada Produk yang diperdagangkan, sedangkan Forex produknya jelas, yaitu mata uang yang diperjual belikan. Hasil dari judi tidak bisa di prediksikan, sedangkan da lam Forex terdapat Money Management yang jelas, sehingga batas kerugian dan keuntungan dapat di kontrol dengan baik. Judi bersifat tidak pasti, sedangkan dalam Forex bisa dipastikan 100 apabila harga sudah terlalu tinggi maka harga akan turun, begitu juga sebaliknya ketika harga sudah terlalu murah. Judi dilarang keras oleh Negara, sedangkan forex diperbolehkan oleh Negara. Dengan melihat keenam alasan diatas, saya yakin anda sudah dapat menyimpulkan apakah forex itu sama dengan judi atau tidak. Hukum Halal Haram trading Forex Menurut Islam. Perspektif Islam dalam menentukan perihal halal dan haram sangatlah luas Tidak hanya dalam dunia trading, akan tetapi dalam hal apapun harus sangat jelas perkaranya Sesuatu pada dasarnya halal akan menjadi haram apabila dilakukan dengan cara tidak benar atau tidak sesuai dengan syariat Islam Berdagang itu diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi berdagang minuman keras haram hukumnya Itulah yang disebut dengan perspektif Tergantung dari sudut mana kita me mandang halal haramnya. Dalam sebuah buku berjudul MASAIL FIQHIYAH, ditulis oleh seorang ahli fikih bernama Prof Drs Masjfuk Zuhdi, menyatakan bahwa berdagang valas diperbolehkan dalam hukum Islam Perdagangan Forex atau mata uang asing ada karena kebutuhan pasar global yang secara tidak langsung mencakup semua Negara Untuk memenuhi kebutuhan Negara yang beraneka ragam itulah peran mata uang menjadi faktor yang paling utama. Berikut ini adalah sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dalam polemik Forex saat ini tengah ramai diperbincangkan. Jangan kamu membeli ikan di udara, karena sebenarnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas ud. Dalam aturan jual beli, penjual harus memberitahukan dan menerangkan kepada pembeli secara rinci keadaan barang yang dijual Penjual harus menjelaskan ciri dan sifat sifatnya Dalam Forex, produk yang diperjualbelikan pun sangat jelas, baik sifat dan nilainya Sehingga, setiap kali melakukan transaksinya, Forex harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Forex adalah murni jual beli dan tidak termasuk riba Forex adalah memperdagangkan mata uang, Berbeda sekali apabila kita meminjamkan uang kepada seseorang dengan mengharapkan kembalian lebih Dan sangat jelas bahwasannya perdagangan memang diperbolehkan. Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak. HR albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban. Dalam forex tidak akan terjadi transaksi apabila penjual dan pembeli tidak melakukan kesepakatan kerelaan Jadi dalam prakteknya, tidak ada unsur pemaksaan atau penipuan yang bersifat saling merugikan. Fatwa MUI tentang Halal dan Haram nya Trading Forex. Majelis Ulama Indonesia MUI , selaku panutan dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan syariah Islam pun mengeluarkan fatwa tentang halal dan haram nya Trading Forex. MUI menyatakan bahwa trading forex dengan transaksi SPOT diperbolehkan Adapun jenis transaksi yang tidak diperbolehkan yaitu transaksi swap, option, dan forward Transaksi Spot dikategorikan halal karena penyelesaian transaksinya diselesaikan pada saat itu juga Adapun penyelesaian paling lambat adalah 2 hari. Berikut ini adalah jenis Jenis perdagangan valas. Transaksi SPOT adalah transaksi jual beli Valas yang penyerahannya dilakukan pada saat itu juga Apabila ada keterlambatan, harus tidak boleh lebih dari jang ka waktu dua hari. Transaksi SWAP adalah suatu kontrak jual beli valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Transaksi FORWARD adalah transaksi jual beli Valas yang ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan pada saat akan datang Tempo watunya nya antara 2 24 jam sampai dengan satu tahun. Transaksi OPTION adalah kontrak untuk memperoleh hak beli dan hak jual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Jika kita tarik garis besarnya, Transaksi forex boleh dilakukan asalkan dengan menggunakan transaksi berjenis spot. Dalam aktifitas apapun sudah diatur hukumnya, apakah dilarang atau diperbolehkan Untuk perkara Forex apakah halal atau haram itu semua tergantung dari bagaimana dan cara tipe transaksi dilakukan Semoga pembahasan ini dapat memberikan gambaran jelas kepada anda mengenai Apakah Forex itu halal atau haram Jadi sehingga anda akan dapat menarik k esimpulan sendiri.

Comments

Popular Posts